BIDADARI DAN PANGLIMA BERBUSANA PUTIH
(Sebuah Apresiasi untuk para
dokter , perawat , apoteker, dan semua pejuang melawan covid-19)
OLEH : ARIES SUPRIADY
OLEH : ARIES SUPRIADY
Tersampaikan
kalimat haru ,syarat akan diksi yang terpenuhi makna , cinta dari segala cinta,rindu
dari setiap rindu, gundah dari goresan hari , tinggalkan keegoisan hati dari
dalam setiap belahan jiwa yang terpatri
dari setiap keinginan. Berjalan terus
tanpa henti tak terbelenggu di senar alam yang kian hari makin mencekam.
Beranda bangsa telah mengisyaratkan duka dalam setiap layout paparan
dengungnya. Aku harap dapat dimengerti, walau belum terderkripsikan alur yang
akan aku narasikan tentang para bidadari yang berbusana putih dan ratusan
panglima berjubah putih pula.
Dan tiada aku dustai , detik demi detik telah kuhitung waktu berlalu
dengan tertatih, berpijak menyerat setiap langkah dengan dibubuhi tangis dan ribuan motivasi demi selaksa kearifan dan
kebahagiaan para penghuni dunia yang disebut dengan manusia.
Ini bukan puisi dan tidak juga esai, karena ceritaku ini tampak nyata
dengan berbagai opini yang mungkin telah tersaksikan oleh jutaan umat manusia
dan dari sedikit dari sebagian manusia itu telah pergi untuk selamanya. Tertidur
lelap, abadi bertemankan gelap gulita tanpa cahaya menerangi. Yah tak ada
cahaya kecuali cahaya dari setiap amal perbuatan yang ia lakukan semasa
hidupnya.
Kemarilah, ada yang ingin aku sampaikan rintik hujan itu berbisik lirih
seakan ia berada sepuluh sentimeter dari telingaku. Dekat sangat dekat, maka
kemarilah terus mendekat aku akan memulai menceritakan kisah dari para bidadari
berbusana putih itu dan juga para panglima yang bebusana sama pula.
Cepat, cepatlah duduk disampingku untuk menyimak tulisan ini, agar kisah
ini benar adanya tanpa kebohongan dan
rekayasa duniawi seperti para janji manusia – manusia yang menganggap dirinya
bersih saat riuh gemulai mengkampanyekan dirinya untuk menjadi pelindung
rakyat.
Baik , simaklah dengan seksama namun tak dengan tempo yang sesingkat –
singkatnya agar kau dapat menjiwai dari setiap goresan diksi yang akan aku
paparkan. Senandungku hanya untuk
mencurahkan kegelisahan diri dari kejadian saat ini.
Aku mulai dari sebuah sajak yang aku beri judul TAHTA MAHKOTA UNTUK
BANGSA
Resapi, pahami dan nikmatilah alurnya.
TAHTA MAHKOTA UNTUK BANGSA
Telah
ku resapi inginmu tanda tanya
Dan
telah ku hayati lirih pilu irama mu tanda koma
Oh,
kau melupakanku…
Tanda
kutip yang selalu biaskan duka dari keduanya
Aku
saksikan juga pernyataan kau tanda titik
Kau
yang telah menghentikan metafora
Majaskan
hipebola di kerumunan diksi
Dan
kaki yang terseret tanpa tanya itu telah melebur,
Menggantikan
beranda bait menjadi paragraf untuk kita lanjutkan
Nafas
ini selalu hembuskan doa untuk kalian
Bidadari
– bidadari berbaju putih
Dan
para panglima – panglima berjubah APD
Semesta
bertasbih disetiap langkah dan tetesan keringat kalian
Bergelut
tak kenal kompromi dan lelah
Tak
terpatri kata
Aku Lelah..
Aku
ngantuk…
Aku
bosan ..
Tak
ada titik, koma, ataupun tanda kutip
Apalagi
Tanya…?
Hanya
seruan mulia yang terdentum menggelegar
“Dirumah
saja, biar kami yang berjuang di garda terdepan “
Ijinkan
aku mendekap kalian dengan untaian dzikir
yang ku pinta dari-Nya
Untuk
selaksa keinginan dari semua harapan
Suatu
perubahan yang akan membawa bahagia
masyarakat
dan anak bangsa
oleh Senyum indah yang tertata
di
bumi Ibu pertiwi
Dua
ribu Sembilan belas , awal sebuah kisah yang akan diingat oleh umat manusia.
Akan sebuah peristiwa yang disebut dengan Covid-19 atau kau sebut saja itu
korona. Virus corona ini telah membuat keresahan yang menjadikan ia sebagai actor
dari panggung dunia. Tempat milyaran manusia hidup dengan berbagai style
kehidupannya.
Ini masalah hati setiap manusia
, ketika dawai damai hanya sebatas kata penyempurna keheningan dari balutan
rasa takut. Takut akan tak dapat menghirup udara segar lagi dan menghembuskan nafas
terakhirnya. Seribu satu tanya telah ku
tata dijiwaku walau kadang aku terdiam menyaksikan ricuhnya manusia menghadapi
ini.
Berbagai usaha dilakukan dengan semaksimal mungkin untuk menghadapi
corona virus covid -19. Bangsa ku ini dengan berduka dan ibu pertiwi menangis
dengan lirihnya. Semangat tanpa batas terpancar pada bangsaku. Karna ini harus
diperjuangkan. Bangsa ku besar , tangguh, kokoh , berani dan tak kan menyerah
begitu saja.
Selagi aku memiliki rasa, ketidakpercayaan ini akan selalu sama
ceritanya. Aku tetap merasa tak punya arti bila aku hanya terdiam dan menjadi
saksi saja dari peristiwa ini. Arahan untuk dirumah saja menjadi perseteruan
dalam jiwaku. Walau yang terbaik adalah tetap dirumah agar tak terjadi
penularan virus corona tersebut. Namun tetap saja aku tak memiliki arti, dari
itu ku buat apresiasi ini untuk aku persembahkan kepada mereka para bidadari
dan panglima berbusana putih.
Siapakah mereka para bidadari berbusana putih itu, tidakkah hanya
khalayan belaka kalau bidadari itu dapat terlihat oleh mata manusia begitu
saja? Bermimpikah kau itu menyebutnya mereka para bidadari? Sudahlah … kau
tulis saja ceritamu itu dengan gaya bahasa yang biasa saja.
Ohh.. kalimat itu muncul begitu saja dalam hatiku saat aku menuliskan
siapa para bidadari yang aku ceritakan itu. Kau tahu mereka adalah pemilik
wajah teduh berparaskan cermin kedamaian
, senyum menyinari hati bak mentari pagi , sapanya menghadirkan kehangatan dikala resah merasuki jiwa.
Mereka pemilik kelembutan, lisan menuntun kebaikan menggejakan dengan sabar dan keikhlasan tak
terekayasa konsonan kata apalagi ego. “DIRUMAH SAJA, BIAR KAMI YANG BERJUANG
DI GARDA TERDEPAN “ kalimat
itu mereka sampaikan dengan linangan air mata
yang tertahan senyum . Mereka tinggal keluarga, sanak saudara , suami, istri
juga anak – anaknya. Mereka belenggu keinginan hatinya untuk pulang , untuk
bercengkrama, untuk bercanda ria seperti hari – hari yang telah terbiasa mereka
lalui.
Namun
kini tak sama, sejati yang telah tersepakati, latar belakangi ironis janji hati, persepsikan pembenaran
dari kebenaran sumpah yang mereka ikrarkan untuk mengabdi sebagai abdi Negara.
Begitu
nyatanya ekspresi yang tafsirkan mencengkram makna, tak perlihatkan keluh dan
kesah pada masyarakat untuk dapatkan sebuah apresiasi. Mereka senantiasa
mendekap kata hantinya bahwa sebuah keikhlasan tak perlu untuk dikampanyekan.
Koreksi
saya jika salah, aku tak sedang menghujani pujian kepada mereka dengan tulisan
ini. Namun ini adalah apresiasi nyata bahwa mereka layak untuk mendapatkannya ,
meski aku paparkan dengan gaya dan bahasaku sendiri walau mungkin tak dapat
dimengerti oleh orang lain.
Tak
sedikit dari mereka merindukan hari dimana ia dapat merasakan kembali semangkus
sup dari ibunya atau celoteh membangun yang disampaikan sebelum ia terlelap. Biar
aku buatkan satu sajak untuk mereka sebagai pelepas rindu pada masakan
orangtuanya.
SEMANGKUK SUP
Kepada mangkuk
Sampaikanlah salamku
Teriring kecup manis pada bumbu
Tebarkan aroma wangi hinggapi nuansa hati
Kepada mangkuk
Bawalah celotehku
Teruntuk jemari lentik
Membingkai mesrah
Tuangkan hidangan penuh cinta
Kepada mangkuk
Dengarkanlah tangisku
Tangis sesalku
Aku rindu amarahnya
Aku rindu teriaknya
Aku rindu senyumnya
Kepada mangkuk
Bisikkan keinginanku padanya
Dongengi aku lagi sebelum tidur ku
Bacakan cerita lagi sebelum kantuk ku
Kecup keningku lagi setelah nyenyak ku
Kepada mangkuk
Sudah selesai ceritaku
Dan kini kau telah kosong
Sup nya telah berpindah
Bersama haruku
Kesekian
kalinya aku sebut lagi , bahwa mereka adalah para bidadari dan panglima
berbalut busana putih , yang berjuang digarda terdepan untuk melawan dengan
segenap jiwa raga melawan virus corona covid-19.
Maafkan
bila caraku seperti ini dalam mengapresiasi Bapak dokter ,Ibu dokter, teteh perawat, abang
perawat, abang teteh apoteker. Coretan kertas ini tak kan menuai akhir dari
hati dan jiwaku. Ijinkan aku melukis wajah kalian dengan doaku disaat semesta
bertasbih, dan hening malam yang memapah hati dan pikiranku untuk mendoakan
kalian. Semoga kalian semua selalu berada dalam lindungan Tuhan yang Maha Esa. Doa terindah untuk kalian para
bidadari dan panglima berbusana putih.
Ini
sajak penutup akhir ceritaku untuk aku persembahkan kepada kalian. Maafkan bila
tak sesempurna pujangga, karna aku tak pandai untuk menyulam kata menjadi
kalimat yang menakjubkan.
KU LUKIS
WAJAHNYA
AKU LUKIS WAJAHNYA
PADA
BUTIRAN PASIR YANG BERSERAK
MESKI TAK SEMPURNA
TAPI TERASA INDAH
KARENA AKHIRNYA TERSAPU JUA OLEH OMBAK
AKU LUKIS WAJAHNYA
DIATAS PERAHU TANPA LENTERA
DISAAT TUBUHKU MENGGIGIL
DAN TERHEMPAS DEBURAN OMBAK PASANG
AKU INGIN SEKALI BERMUARA
MENEPI PADA PESISIR
DAN BERTEDUH DIBAWAH PURNAMA
MEMBACAKAN SAJAK INDAH
TAHTA MAHKOTA UNTUK BANGSA
APRESIASI NYATA UNTUK PARA BIDADARI DAN
PANGLIMA BERBUSANA PUTIH
OH… LIDAHKU TERLALU KAKU UNTUK MEMINTAL
BENANG – BENANG KATA
DAN MENYULAMNYA MENJADI KAIN KALIMAT
MENAKJUBKAN
LALU…
BIAR KU LUKIS KEMBALI WAJAHNYA DIHATI
KECILKU
BESAMA DOA TERINDAH UNTUKNYA
Terimakasih tiada terhingga untuk perjuangan kalian, salam termanis dari
ku Aries Supriady sosok rakyat biasa.
Sekian
Komentar
Posting Komentar